Betapa berat dan sukarnya perjuangan menuju kebenaran, Dan betapa kita
harus memeranginya. Kita dalam bertindak benar memakai segi rasio dan
intuisi, sedang mereka hanya membakar perasaan lalu pergi begitu saja.
Dehumanisasi dengan pemerasan-pemerasan yang mungkin menghasilkan
hasil-hasil yang indah, bagiku tetap merupakan hasil yang negatif.
Seharusnya mereka bisa berpikir tenang karena predikat kesarjanaan itu. Tetapi mereka tidak bisa terlepas dari fungsi sosialnya ialah bertindah demi tanggung jawab sosialnya bila keadaan telah mendesak. Kelompok intelektual yang terus berdiam dalam keadaan yang mendesak telah melunturkan semua kemanusiaannya. Ketika Hitler mulai membuas maka kelompok inge school berkata tidak. Mereka walaupun masih muda, telah berani menentang pemimpin-pemimpin gang-gang bajingan. Bahwa mereka mati, bagiku bukan soal. Mereka telah memenuhi panggilan seorang pemikir. Tidak ada indahnya (dalam arti romantik) penghukuman mereka, tetapi apa yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran,
Generasi kita ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau.
Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh
koruptor-koruptor tua. Kitalah yang dijadikan generasi yang akan
memakmurkan Indonesia
Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, yang tersial adalah yang berumur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.
Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan.
Bagiku sendiri, politik adalah barang yang paling kotor, lumpur-lumpur
yang kotor, Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri
lagi, maka terjunlah.
Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang
yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.
Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah
tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak
akan lahir?
Perasaan ‘sayang’ yang amat kuat menguasai saya. Saya ingin memberikan
sesuatu rasa ‘cinta’ pada semua manusia, anjing-anjing di jalanan,
mungkin pula pada semuanya.
Apakah yang lebih tidak adil selain daripada mendidik sebagian kecil
anak-anak orang kaya dan membiarkan sebagian besar rakyat miskin tetap
bodoh?
Saya tak tahu mengapa, saya merasa agak melancholic malam ini. Mungkin karena terlalu lama tidur siang. Saya melihat lampu-lampu kerucut dan arus lalu lintas Jakarta dengan ‘warna-warna’ yang baru. Seolah-olah semuanya diterjemahkan dalam suatu kombinasi wajah kemanusiaan. Semua terasa mesra tapi kosong. Seolah-olah saya merasa diri saya lepas.
Aku pesimistis sekali pada dunia. Aku cinta pada anak-anak, pada
binatang-binatang, rakyat yang sabar dan patuh ditindas. Tapi di samping
itu, manusia kejam sekali. Lihatlah ada peperangan, sengsara, penipuan,
perbudakan.
Kita nggak mungkin bisa hidup bebas begini kalau bukan karena melawan. Soekarno, Hatta, Syahrir, mereka semua berani memberontak dan melawan. Mereka berani melawan semua kesewenang-wenangan.
Di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau apatis. Saya
sudah lama memutuskan harus menjadi idealis sampai batas sejauh-jauhnya.
Kadang saya takut apa jadinya saya kalau saya patah-patah….
Pertanyaan pertama yang harus kita jawab adalah: Who am I? Saya telah
menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa
tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia
menghadapi ketidak-populeran, karena ada suatu yang lebih besar:
kebenaran.
Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan,
terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis…
Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar, dan murid bukanlah kerbau.
Tapi sekarang aku berpikir sampai di mana seseorang masih tetap wajar,
walau ia sendiri tidak mendapatkan apa-apa. seseorang mau berkorban buat
sesuatu, katakanlah, ide-ide, agama, politik atau pacarnya. Tapi
dapatkah ia berkorban buat tidak apa-apa.
Dan seorang pahlawan adalah seorang yang mengundurkan diri untuk
dilupakan seperti kita melupakan yang mati untuk revolusi
Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah
manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak
mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat
mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai
tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama
rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus
berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik
gunung.
Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar
mahasiswa Indonesia berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”.
Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai
seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak
mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai
seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.
Makhluk kecil kembalilah. Dari tiada ke tiada. Berbahagialah dalam
ketiadaanmu.
Saya mimpi tentang sebuah dunia dimana ulama, buruh, dan pemuda bangkit dan berkata, “stop semua kemunafikan ! Stop semua pembunuhan atas nama apapun.. dan para politisi di PBB, sibuk mengatur pengangkatan gandum, susu, dan beras buat anak-anak yang lapar di 3 benua, dan lupa akan diplomasi.
Tak ada lagi rasa benci pada siapapun, agama apapun,
ras apapun, dan bangsa apapun..dan melupakan perang dan kebencian, dan
hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.”
Aku kira dan bagiku itulah kesadaran sejarah. Sadar akan hidup dan
kesia-siaan nilai.
Dunia ini adalah dunia yang aneh. Dunia yang hijau tapi lucu. Dunia yang
kotor tapi indah. Mungkin karena itulah saya telah jatuh cinta dengan
kehidupan. Dan saya akan mengisinya, membuat mimpi-mimpi yang indah dan
membius diri saya dalam segala-galanya. Semua dengan kesadaran. Setelah
itu hati rasanya menjadi lega.
Bagi saya kebenaran biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan. Dan kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita.
Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan
adalah kejahatan.
Saya tidak tahu masa depan saya. Sebagai orang yang berhasil? Sebagai
orang yang gagal terhadap cita-cita idealisme? Lalu tenggelam dalam
waktu dan usia? Sebagai orang yang kecewa dan lalu mencoba meneror
dunia? Atau sebagai orang yang gagal tapi dengan penuh rasa bangga tetap
menatap matahari yang terbit? Saya ingin coba mencintai semua. Dan
bertahan dalam hidup ini.
Tugas inteletual bagi saya adalah justru mencari kontak dan mendorong
elemen-elemen dalam segala lapisan masyarakat untuk bergerak dan
berontak terhadap situasinya. Dan konsekuensi fisik harus berani
dihadapi.
Kalau kau tak sanggup menjadi beringin yang tegak di puncak bukit,
jadilah saja belukan, tapi belukan terbaik yang tumbuh di tepi danau.
Kalau kau tak sanggup menjadi belukan, jadilah saja rumput, tapi rumput
yang memperkuat tanggul pinggiran jalan. Tidak semua jadi kapten, tentu
harus ada awak kapalnya. Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan
tinggi rendahnya nilai dirimu. Jadilah saja dirimu, sebaik-baiknya
dirimu sendiri.
"Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikkan"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar