Aku tidak mempercayai
keajaiban-keajaiban sama seperti aku, pada mulanya, tidak mempercayai takdir.
Namun, ketika kita ada dalam keadaan putus asa, tidakkah yang tersisa hanyalah
keajaiban-keajaiban tempat kita berharap? (h. 118-119)
Dalam gelap gulita, setiap orang
punya takdirnya masing-masing (h. 124)
Di dunia ini, tak ada cara untuk
memahami apa yang seharusnya terjadi (h. 246)
Kau tahu bahwa aku tak bisa melakukan apa-apa
selain berbicara kepada diriku sendiri untuk mengusir kesepianku. Kau tahu
bahwa kesepianku ini tanpa penawar, tak seorang pun dapat melipur laraku, aku
hanya dapat berkata pada diriku sendiri sebagai kawan bicaraku.
Dalam monolog panjang ini, “kau” adalah sasaran ceritaku, sesosok aku yang mendengarkanku dengan penuh perhatian, “kau” hanyalah bayang-bayang diriku.
Saat aku mendengarkan “kau” yang menjadi milikku, aku menciptakan “dia” untukmu, karena kau seperti aku, kau tak kuasa menanggung kesepian, kau juga harus menemukan kawan bicara.
Maka kau bicara dengan “dia” seperti aku bicara dengan “kau”.
Dia berasal dari “kau”, tapi mengukuhkan keakuanku.
“Kau”, kawan berbincangku, kau membawa pengalaman dan imajinasiku dalam hubungan antara “kau” dan “dia” tanpa dapat membedakan mana imajinasi dan mana kenyataan..(h. 455-456)
Dalam monolog panjang ini, “kau” adalah sasaran ceritaku, sesosok aku yang mendengarkanku dengan penuh perhatian, “kau” hanyalah bayang-bayang diriku.
Saat aku mendengarkan “kau” yang menjadi milikku, aku menciptakan “dia” untukmu, karena kau seperti aku, kau tak kuasa menanggung kesepian, kau juga harus menemukan kawan bicara.
Maka kau bicara dengan “dia” seperti aku bicara dengan “kau”.
Dia berasal dari “kau”, tapi mengukuhkan keakuanku.
“Kau”, kawan berbincangku, kau membawa pengalaman dan imajinasiku dalam hubungan antara “kau” dan “dia” tanpa dapat membedakan mana imajinasi dan mana kenyataan..(h. 455-456)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar